Tuesday, 13 March 2012

Kebudayaan
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.

Definisi Budaya
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri."Citra yang memaksa" itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti "individualisme kasar" di Amerika, "keselarasan individu dengan alam" d Jepang dan "kepatuhan kolektif" di Cina.
Citra budaya yang bersifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.
Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain.

Pengertian Kebudayaan
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
sumber:
 http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya


Berikut artikel yang mengenai tentang budaya:
Budaya Ragu, Malu, dan Pekewuh dalam Tradisi Jawa
Masih tertarik untuk membicarakan tradisi dan budaya jawa dan segala yang ada didalamnya. Selain karena saya sendiri adalah seorang truly javanian, juga budaya jawa memberikan banyak sekali pembelajaran yang sayang untuk tidak kita ambil sebagai hikmah dalam kehidupan kita. Dan kalau dalam kesempatan artikel sebelumnya saya banyak berbicara tentang unggulnya budaya Jawa, kali ini saya sedikit mengupas tentang satu tema, yang barangkali sebagai orang Jawa, apalagi jawa tulen, kita masih memilikinya. Yang akan saya bicarakan dalam tulisan saya kali ini adalah beberapa sifat yang cenderung ‘negatif’ yang masih dimiliki oleh orang jawa. yaitu sikap ragu – ragu mengambil keputusan, malu – malu padahal mau, dan sikap pekewuh.
Yang pertama yang akan saya bahas adalah sikap pekewuh dalam menyikapi sesuatu. Pekewuh kalau saya bahasakan dalam bentuk yang lebih sederhana adalah sikap tidak enak hati, budaya pekewuh ini biasa tercermin dalam ungkapan silih asah, silih asih, dan silih asuh, serta sedulur, selembur, sekasur membuat orang jadi enggan menyakiti hati atau menyengsarakan orang lain. Atau dalam pemaknaan lain, Pekewuh adalah perasaan tidak enak untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu kepada orang lain karena takut menyinggung atau memberi kesan kurang sopan dan tidak menyenangkan.
Sebenarnya budaya pekewuh ini ketika diejawantahkan untuk hal – hal yang baik sih tak masalah, tetapi yang masalah, akhir – akhir ini kita sering menjumpai politik ewuh pekewuh, baik dari yang terkecil dilingkup desa atau kampung kita, atau yang besar di negara kita tercinta. Sebenarnya kalau rasa pekewuh ini digunakan untuk hal – hal yang positif, misalnya pekewuh karena orang yang terlalu baik kepada kita, dan kita pekewuh untuk tidak berbuat baik kepadanya, ini menjadi tidak apa – apa. Akan tetapi ketika sifat pekewuh ini juga berlaku ketika orang yang berbuat baik melakukan kesalahan, dan kita menjadi pekewuh untuk menegurnya, nah ini, ini yang perlu dan harus dihindari, agar sifat pekewuh itu disesuaikan pada tempatnya.
Yang kedua saya ingin membicarakan masalah keragu – raguan sikap yang kadang masih saja ada didalam jiwa para javanian, para orang jawa, dan sikap ini saya langsung korelasikan dengan sifat malu – malu tapi mau, ragu, malu – malu tapi mau, ini beberapa juga masih ada dan mengkarakter dalam diri orang Jawa. kalau kita ambil pemaknaan kata ragu dalam kamus besar bahasa Indonesia,skep-tis artinya kurang percaya, ragu-ragu (terhadap keberhasilan ajaran dsb): contohnya; penderitaan dan pengalaman menjadikan orang bersifat sinis dan skeptis. Walaupun sebenarnya sikap – sikap seperti ini baik dalm kondisi tertentu, tetapi belum tentu juga baik dalam kondisi yang lainnya.
Misalnya, suatu ketika dalam percakapan saya dengan salah satu teman akrab dan juga teman dekat saya, saya sebenarnya hanya ingin membantu saja memberikan buku yang dia minta, tetapi dia menjadi bingung, jadi diterima atau ditolak pemberian dari saya itu, sehingga melahirkan kebingungan yang mendalam dalam dirinya, padahal saya sangat yakin dia itu sebenarnya sangat mau. Nah lho, kalau ragu – ragu, malu – malu tapi mau ini tidak kita tempatkan pada tempatnya, akan menjadikan kita bingung, dan kebingungan – kebingungan inilah yang nanti menimbulkan efek – efek tidak baik dalam diri kita. Bolehlah kita sebagai orang Jawa mememlihara sifat – sifat tersebut, pekewuh, malu, dan lain sebagainya, tetapi memang dalam kondisi tertentu, sifat – sifat tersebut saya kira kurang pas untuk diterapkan dalam pengambilan kebijakan dan keputusan terpenting dalam hidup kita.
Menjadi orang jawa seutuhnya, dengan segala budaya yang ada didalamnya itu wajib untuk kita internalisasikan dalm keseharian kita sebagai orang Jawa. Memelihara keluhuran budaya Jawa dan segala hal yang ada didalamnya itu menjadi suatu keharusan bagi kita orang Jawa, namun kadang, kitapun harus menjadi orang Batak, kitapun kadang harus jadi orang betawi, harus jadi orang Manado dalam beberapa hal. Walaupun saya yakin bahwa budaya Jawa itu memiliki keunggulan, tetapi dalam beberapa aspek kita harus belajar dari mereka, orang Batak yang kadang tak ragu mengambil keputusan, ataupun orang manado atau Bugis yang tak malu – malu untuk mengungkapkan segala sesuatunya, ataupun kita harus belajar pula kepada mereka – mereka yang diluar sana. Karena bagi saya pribadi, prinsip belajar sebelum memimpin itu selalu menjadi inspirasi untuk terus berkarya. Akhirnya selamat mengambil hikmah dari budaya dan tradisi Jawa, selamat menginspirasi Indonesia.
Oleh : Raden Mas Panji Anom Kaliwinong (Dwi Purnawan)
sumber:
http://sosbud.kompasiana.com/2012/03/13/budaya-ragu-malu-dan-pekewuh-dalam-tradisi-jawa/

Pendapat:
Menurut saya kenapa sih masih saja malu untuk membawa budaya asli kita dalam kehidupan modernisasi? Atau mungkin takut disebut katrok? Takut disebut ga update?
Lalu kalo demikian kenapa beberapa orang dengan bangganya mengenalkan budaya asing ke kehidupan bermasyarakat? Apa itu yang disebut ‘gaul’? apa itu yang disebut update?
Justru itu anda melupakan asal usul anda. Dari mana anda? Dari budaya mana anda dilahirkan? Dimana asal anda?
Hal ini pun seperti artikel diatas tentang javanian yang tersebar di segala Indonesia dan mungkin masyarakat perkotaan besar yang malu untuk sekedar berbicara dengan bahasa daerahnya beberapa orang lebih menggunakan bahasa Inggris untuk beriteraksi secara non formal, misalnya dengan teman atau kerabatnya.
Saya sangat setuju sekali dengan kebijakan Universitas Indonesia yang memakai baju batik setiap hari Kamis. Itu merupakan upaya untuk mengingatkan kembali budaya asli Indonesia yang dahulu batik sempat di klaim oleh Negara tetangga.
Seperti film The Last Samurai seorang samurai yang memperjuangkan budaya Jepang aslinya tetapi kaisar jepang akan mempelajari budaya asing dan pada endingnya si kaisar Jepang mulai mengerti arti asal muasal itu tersendiri.
 jadi jangan takut untuk membawa budaya kita di dalam masyarakat modernisasi


No comments:

Post a Comment